Senin, 20 Januari 2014
Posted By : Wayne Rachmat
Ilalang dan Rumah Laba Laba
Kehidupan yang keras seolah menjadi tantangan dalam hidup Rina dan kakaknya Rani. Tinggal di tengah hutan dan jauh dari keramaian dan hiruk pikuk kehidupan masyarakat. Kehidupannya hanya bergantung dari apa yang ada di sekeliling tempat tinggalnya. Untuk bisa mendapatkan beras ia harus rela berjalan sejauh kurang lebih 3 km. Itu pun kalau mereka mampu membeli beras.
Semangat belajarnya sungguh luar biasa. Kehidupan yang sederhana dan serba pas-pasan, begitu besar dan berat perjuangan orangtuanya demi menyekolahkan anak-anaknya. Rina dan kakaknya bertekad ingin bangkit dari kehidupan yang serba sulit. Ia ingin seperti teman-temannya, hidup dalam keramaian dan banyak teman. Bukan malah menyendiri di tengah hutan
Setiap pagi ia menyusuri jalan nan panjang dan penuh tantangan, agar ia sampai ke sekolahnya. Sebuah sepeda mini bekas yang di belikan oleh ayahnya lah yang menjadi teman setia mereka. Saat musim hujan tiba, jalanan selalu becek dan banyak lumpur yang menjerat sepeda kesayangan mereka. Sepeda berwarna merah kusam dengan warna yang memudar, tak pernah mengeluh tatkala harus bermandikan lumpur.
Pagi ini, Rina dan Rani siap berangkat sekolah. Hujan semalam, pasti akan menyisakan tantangan tersendiri dalam perjalan ke sekolah nanti. “Kak, kalau bajuku kotor, nanti teman-teman pasti akan menertawakanku.” Kata Rina dengan wajah cemberut kebingungan. Rani kakaknya hanya tersenyum. “Sudahlah.. adikku yang manis ini tetap cantik kok..” Rani mencoba menghibur adiknya, agar ia semangat ke sekolah hari ini.
“Rina, Rani cepetan berangkat nanti telat…” Teriak emak mereka dari luar. “Iya, Mak..” Jawab Rani. ”Ayo.., hujan semalam tidak membuatmu patah semangat, kan?” Tanya Rani sembari tersenyum. “Baiklah..” Akhirnya Rina beranjak dari tempat duduknya dan mengaitkan tasnya yang sudah tak layak pakai di punggungnya. “Semangat..!” Rani menepuk bahu adiknya yang masih terleihat lemas tidak bersemangat.
“Hati-hati..” Kata emak mereka. “Rani berangkat dulu, Mak..” Rani menjabat tangan emaknya. Kemudian disusul oleh Rini. “Jangan lupa, belajar yang baik. Jangan kecewakan bapak dan emak yang sudah susah payah mencari uang demi menyekolahkan kalian!” Pesan emaknya. “Iya, Mak..” Jawab Rani. Kata emakya begitu lekat dalam hatinya. Segera tertanam dalam benaknya dan menjadi pengingatnya agar ia tetap istiqomah untuk belajar dengan baik demi kehidupan yang layak di masa yang akan datang.
“Rina, Rani cepetan berangkat nanti telat…” Teriak emak mereka dari luar. “Iya, Mak..” Jawab Rani. ”Ayo.., hujan semalam tidak membuatmu patah semangat, kan?” Tanya Rani sembari tersenyum. “Baiklah..” Akhirnya Rina beranjak dari tempat duduknya dan mengaitkan tasnya yang sudah tak layak pakai di punggungnya. “Semangat..!” Rani menepuk bahu adiknya yang masih terleihat lemas tidak bersemangat.
“Hati-hati..” Kata emak mereka. “Rani berangkat dulu, Mak..” Rani menjabat tangan emaknya. Kemudian disusul oleh Rini. “Jangan lupa, belajar yang baik. Jangan kecewakan bapak dan emak yang sudah susah payah mencari uang demi menyekolahkan kalian!” Pesan emaknya. “Iya, Mak..” Jawab Rani. Kata emakya begitu lekat dalam hatinya. Segera tertanam dalam benaknya dan menjadi pengingatnya agar ia tetap istiqomah untuk belajar dengan baik demi kehidupan yang layak di masa yang akan datang.
Rani terus mengingat pesan dari ibunya. Kata-kata itu terus terngiang-ngiang dan terus melecutinya agar semangat terus membara dan berkobar. Entah apa yang ada di pikirkan Rina. Sepertinya, kata-kata ibu hanya berjalan melintas di telinganya. Pikirannya hanya tertuju pada tantangan yang akan ia hadapi di jalan nanti. Ia tidak ingin diolok-olok temannya, karena rok dan sepatunya kotor terkena lumpur.
Hujan semalam benar-benar telah menguji kesabaran dan kepiawaian mereka dalam menyusuri jalan yang licin dan penuh dengan lumpur. Jalan setapak dengan semak-semak di tepian jalan, membuat mereka merinding tatkala dedaunan bergoyang dan menimbulkan bunyi-bunyian mengerikan. Udara dingin menerpa tubuh mereka, dan tetesan air bekas hujan semalam menetes membasahi tubuh mereka. Seketika rasa dingin menyergapi tubuhnya.
Mereka hanya terdiam membisu menyusuri jalan. Pandangan mereka fokus ke depan melihat genangan air yang penuh dengan lumpur berwarna merah kecokelatan. Otak terus berfikir bagaimana ia bisa melewatinya, tanpa harus terkena cipratan air kotor itu. Jika tidak, baju mereka akan kotor dan ocehan teman-teman di sekolah akan berkicauan di gedung sekolahan dan mengalahkan kicauan burung yang bertengger di tower.
Selain melewati jalan setapak yang licin dan penuh dengan lumpur, ia juga harus melewati sungai dengan bebatuan yang besar dan tajam. Selain itu, lumut hijau yang tumbuh di bebatuan terkadang membuat mereka terpeleset. Belum lagi, mereka harus menggandeng sepeda mini tuanya. Rani tahu, adiknya pasti sudah lelah dengan hari-hari yang sulit menyusuri jalan itu. Tapi. Ia terus memberi semangat pada adiknya.
Sesampainya memasuki pemukiman penduduk, hati Rina dan Rani terasa lega. Kakinya terasa pegal setelah berjalan menyusuri jalan setapak di hutan. Kini, ia bisa menaiki sepedanya. Tetapi, kaki Rani masih harus mengayuh sepeda mini tua itu hingga mereka berdua sampai di sekolah. Rani tidak mungkin membiarkan adiknya memboncengnya hingga ke sekolah. Rani tak tega melihatnya kelelahan. Keringat sudah membasahi wajahnya. Mau tidak mau, Rani lah yang harus mengayuh sepeda mini tua itu.
Saat berada di boncengan kakaknya, Rina terus mengamati sepatu dan rok panjangnya (karena ia sekolah di MTS negeri) yang kotor terkena air berwarna cokelat dan bercampur dengan lumpur. Tiba-tiba, bayangan Rina sampai dulu di sekolahan. Ia membayangkan teman-temannya yang akan mengolok-oloknya di sekolahan. Dan saat ban sepeda mereka melintas di atas jalan yang berbatu, Rina pun kaget dan sadar dari lamunannya.
“Mbak, mau kemana?” Tanya seorang wanita yang duduk di samping Rani, saat naik kereta. Seketika, lamunan Rani di masa kecilnya menghilang dari pikirannya. “Saya mau ke Jakarta, Mbak. Mau cari kerja, untuk membantu emak, bapak dan juga adik saya di desa. Biar hidup kita tidak di hutan terus. Saya ingin membeli rumah dan tanah di dekat pemukiman warga, agar kami punya tetangga.” Jawab Rani dengan jelas. “Oh…,” Wanita itu meng-Oo, dengan mulut sedikit di kumpulkan di tengah, dengan wajah manggut-manggut.
Rani, terlihat sederhana dengan baju panjang, rok panjang, dan sebuah jilbab berwarna biru telur asin yang sudah kusam. Sikapnya sangat kalem. Melihat wanita itu, ia teringat dengan kata orang tentang kejahatan di dalam kendaraan, misalnya hipnotis. Apalagi, melihat percakapannya dengan penumpang yang lain, wanita itu sangat berani, dan beringas, sikapnya terlihat keras. Rani pun, sedikit deg-degan. “Jaga dirimu baik-baik, di jakarta banyak kejahatan. Macamnya banyak juga. Hanya itu yang mbak pesankan sama kamu.” Setelah wanita itu menasehatinya, Hati Rani sedikit lega. Sepertinya dia wanita yang baik.
Setelah mereka sampai di stasiun, Rani pun mengejar wanita itu. “Mbak kerja dimana?” Tanya Rani. “Mbak kerja dari suster, ngurus anak.” Jawab wanita itu sambil berjalan meneteng tasnya. “Bolehkah saya ikut dengan mbak. Saya kan belum punya pengalaman kerja, saya kan hanya lulusan MAN. Saya juga tidak tahu Jakarta.” Kata Rani. “Lebih baik, kamu cari pekerjaan yang lebih baik dari saya. Ijasahmu dari Man mungkin bisa mengantarkan kamu kerja di toko. Tidak seperti mbak, SD saja tidak tamat.” Jawab wanita itu. Rani hanya diam saja. Dan wanita itu pun, tak tega melihat wanita yang terlihat kalem dan cantik itu luntang-lantung sendirian.
“Baiklah, kamu boleh ikut dengan saya. Tapi, kamu harus sabar, ya. Majikannya sangat galak. Anaknya juga nakal, susah diurus.” Wanita itu menjelaskan. Rani pun menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Kemudian mereka berdua naik angkot menuju rumah majikan wanita itu.
“Baiklah, kamu boleh ikut dengan saya. Tapi, kamu harus sabar, ya. Majikannya sangat galak. Anaknya juga nakal, susah diurus.” Wanita itu menjelaskan. Rani pun menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Kemudian mereka berdua naik angkot menuju rumah majikan wanita itu.
Sampai di rumah majikan wanita itu, Rani sudah dikenalkan dengan tugas-tugasnya. Ia juga sudah bekerja, menyapu, mencuci, ngepel dan mengurus taman. Dan ditambah mengurus anak majikannya, yang gendut, dan nakalnya minta ampun. Malamnya, Rani langsung membaringkan tubuhnya di kasur yang langsung di gelar di atas lantai. Kamarnya sempit, pengap, plapon yang dipasang terlalu rendah membuat ia sulit untuk bernapas.
Rani pun melamun masa kecilnya dulu. Baru tiba di Jakarta, ia sudah diliputi rasa kangen dengan emak, babak, dan adiknya. “Rumput ilalang, kamu menjadi saksi di sepanjang jalan setapak ini. Saksi akan perjuanganku demi membahagiakan emak dan bapak. Perjuanganku berangkat sekolah, hingga adikku diolok-olok temannya” Kata Rani, yang kemudian ia mencabut bunga rumput ilalang itu dan membawanya pulang ke rumah saat ia pulang sekolah. “Ran, Kamu sedang melamun apa?” Tanya Yuli. “Baru tiba di Jakarta, saya sudah kangen dengan keluarga di rumah.” Jawabnya. “Kamu harus sabar, kangen itu pasti ada. Katanya, kamu ingin membahagiakan emak sama bapakmu, kan?” Tanya Yuli. “Iya, mbak” Jawab Rani.
“Kamu sebaiknya cepetan tidur, jangan melamun. Besok, majikan kita mau pergi ke pantai dan kamu harus ikut untuk mengasuh Dimas. Ini, tadi mbak sudah beli roti. Kamu bawa bekal buat besuk.” Yuli memberikannya pada Rani. “Jangan mbak. Itu kan Roti mbak Yuli” Rani menolaknya. “Ran, majikan kita tidak akan memberimu makan. Tugasmu menyuapi anaknya. Besok pasti kamu kelaparan. Mbak itu sudah pengalaman, Ran. Memang majikan kita itu orangnya tidak punya perasaan. Sudahlah, kamu masukkan ke dalam tas saja.” Yuli menyuruhnya memasukkan ke dalam tas.
“Mbak kan kerja berat, sedangkan makan juga di pasti. Terkadangkan kita juga lapar, saat ada tugas berat dan banyak. Sedangkan buah-buahan di kulkas, kan mbak tidak berani makan. Terpaksa, sisa makanan Dimas mbak makan. Kamu yang sabar, ya. Mbak Cuma bisa bantu kasih pekerjaan seperti ini.” Kata Yuli. “Iya mbak. Malahan, saya sangat berterima kasih dengan mbak Yuli.” Kata Rani. Mereka pun akhirnya berbaring di atas kasur, dan perlahan-lahan memejamkan mata. Sedikit dipaksakan memang. Karena, rasa pegal di sekujur tubuh enggan hilang.
“Kamu sebaiknya cepetan tidur, jangan melamun. Besok, majikan kita mau pergi ke pantai dan kamu harus ikut untuk mengasuh Dimas. Ini, tadi mbak sudah beli roti. Kamu bawa bekal buat besuk.” Yuli memberikannya pada Rani. “Jangan mbak. Itu kan Roti mbak Yuli” Rani menolaknya. “Ran, majikan kita tidak akan memberimu makan. Tugasmu menyuapi anaknya. Besok pasti kamu kelaparan. Mbak itu sudah pengalaman, Ran. Memang majikan kita itu orangnya tidak punya perasaan. Sudahlah, kamu masukkan ke dalam tas saja.” Yuli menyuruhnya memasukkan ke dalam tas.
“Mbak kan kerja berat, sedangkan makan juga di pasti. Terkadangkan kita juga lapar, saat ada tugas berat dan banyak. Sedangkan buah-buahan di kulkas, kan mbak tidak berani makan. Terpaksa, sisa makanan Dimas mbak makan. Kamu yang sabar, ya. Mbak Cuma bisa bantu kasih pekerjaan seperti ini.” Kata Yuli. “Iya mbak. Malahan, saya sangat berterima kasih dengan mbak Yuli.” Kata Rani. Mereka pun akhirnya berbaring di atas kasur, dan perlahan-lahan memejamkan mata. Sedikit dipaksakan memang. Karena, rasa pegal di sekujur tubuh enggan hilang.
Rani menatap Yuli dengan mata sayup. Yuli tertidur begitu pulas karena kecapekkan. Hari itu, Yuli memang tinggal di rumah. Sedangkan, Rani dan majikannya pergi ke pantai. Meskipun Yuli di rumah, dan tidak ada majikan yang mengawasi pekerjaannya, tapi Yuli tidak bisa leha-leha. Karena, majikan mereka orangnya sangat disiplin, dan selalu mengecek tugas-tugas pembantunya. Rani pun juga sangat kelelahan, ia tidak bisa menikmati suasana pantai yang didapatnya secara gratis tanpa harus mengeluarkan ongkos. Tapi, Dimas sangat rewel dan nakal. Dia juga sering ngerjain Rani.
“Ternyata benar kata mbak Yuli. Kalau aku tidak membawa Roti ini, aku tadi pasti sudah kelaparan. Belum lagi, sikap Dimas yang bikin aku jengkel dan mangkel. Dimas yang salah, katanya aku yang salah. Ah, sudahlah… namanya juga anak kecil.” Rani berbicara sendiri, sembari meringkasi rotinya yang masih sisa, dan mengeluarkannya dari tas. “Kenapa aku rindu sekali dengan emak, ya?!” kata Rani yang tertegun. “Tidak biasanya aku begitu merindukannya. Semoga saja, tidak terjadi apa-apa dengan mereka.” Kata rani yang menyakinkan dirinya sendiri, agar tidak berpikiran yang macam-macam.
“Ternyata benar kata mbak Yuli. Kalau aku tidak membawa Roti ini, aku tadi pasti sudah kelaparan. Belum lagi, sikap Dimas yang bikin aku jengkel dan mangkel. Dimas yang salah, katanya aku yang salah. Ah, sudahlah… namanya juga anak kecil.” Rani berbicara sendiri, sembari meringkasi rotinya yang masih sisa, dan mengeluarkannya dari tas. “Kenapa aku rindu sekali dengan emak, ya?!” kata Rani yang tertegun. “Tidak biasanya aku begitu merindukannya. Semoga saja, tidak terjadi apa-apa dengan mereka.” Kata rani yang menyakinkan dirinya sendiri, agar tidak berpikiran yang macam-macam.
Rani pun berbaring di samping Yuli. Rasa ngantuk yang tak kunjung datang membuatnya melamuni kehidupannya di desa, saat ia mencuci di kali. “Ternyata, rumahmu masih di daun jati itu. Laba-laba yang malang, seperti aku. Hidup dengan rumah yang rapuh dan tidak kuat. Ketakutan saat hujan turun dan angin yang berhembus kencang. Bahkan, tetesan embun yang besar dapat merusak rumahmu.” Kata Rani sembari menggelengkan kepalanya. “Aku akan buktikan, bahwa aku tidak akan hidup sepertimu. Aku berjanji sama emak, kalau aku sudah lulus dan bekerja nanti, aku akan membelikan rumah untuk emak, bapak dan Rina. Rumah yang jauh lebih baik dari yang kami tempati sekarang.” Kata Rani menambahkan.
“Ah.., kenapa aku jadi teringat laba-laba itu, ya!” pikir Rani. Kemudian, Rani memejamkan matanya agar ia bisa lekas tidur. Karena, pekerjaan sudah menantinya esok hari. Ia berusaha menahan kerinduan dengan keluarganya. Semua ia lakukan dengan sabar, meski majikan Rani orangnya keras. Dan momongannya (Dimas) sangat bandel. Ia pun harus sabar dengan sikap Dimas yang masih kecil.
Mungkin, pekerjaannya jauh lebih ringan dibandingkan pekerjaan kedua orangtuanya. Membuat arang, dengan proses yang sangat panjang. Menebang pohon, kemudian membakar dan harus menunggu beberapa hari, setelah itu di angkat dengan dicelupkan ke dalam air (Sangat panas berhadapan dengan bara api), tapi mereka tetap sabar. Belum lagi, mereka harus menjualnya ke warga yang rumahnya sangat jauh. Berjalan kaki dengan memikul arang yang dimasukkan ke dalam sak (Wadah beras).
“Ah.., kenapa aku jadi teringat laba-laba itu, ya!” pikir Rani. Kemudian, Rani memejamkan matanya agar ia bisa lekas tidur. Karena, pekerjaan sudah menantinya esok hari. Ia berusaha menahan kerinduan dengan keluarganya. Semua ia lakukan dengan sabar, meski majikan Rani orangnya keras. Dan momongannya (Dimas) sangat bandel. Ia pun harus sabar dengan sikap Dimas yang masih kecil.
Mungkin, pekerjaannya jauh lebih ringan dibandingkan pekerjaan kedua orangtuanya. Membuat arang, dengan proses yang sangat panjang. Menebang pohon, kemudian membakar dan harus menunggu beberapa hari, setelah itu di angkat dengan dicelupkan ke dalam air (Sangat panas berhadapan dengan bara api), tapi mereka tetap sabar. Belum lagi, mereka harus menjualnya ke warga yang rumahnya sangat jauh. Berjalan kaki dengan memikul arang yang dimasukkan ke dalam sak (Wadah beras).
Rani memang merindukan kedua orangtuanya, dan ingin segera bertemu dengan mereka. Tapi, ia harus bekerja demi keinginannya ingin memberikan rumah pada kedua orangtua dan adiknya. Tapi, ia lebih menginginkan tinggal bersama majikannya yang berwatak keras dan mengurus Dimas anaknya yang bandel, dari pada ia harus pulang bertemu dengan keluarganya tidak dengan perasaan bahagia, melainkan kesediahan yang teramat dalam yang ia terima.
Sebelum keinginannya terwujud, keluarganya sudah pergi diambil oleh Sang Maha Kuasa. Sedih menyayat hati, dan akan menjadi beban dalam hidupnya, bahkan menjadi bayang-bayang yang menghantuinya. Andaikan ia bisa segera memberikan rumah bagi mereka, semua ini pasti tidak akan terjadi. Bencana banjir telah memporak porandakan rumah, dan menyeret emak, bapak dan juga adiknya. Rani merasa bersalah. Sedih yang teramat dalam. Kini, siapa yang akan menjadi tumpuan harapan dan penghiburnya.
Bagaimanakah ia bisa membahagiakan mereka semua, dengan apa? Rumah yang ia idam-idamkan seolah hilang. Untuk siapakah rumah yang ia beli di jakarta? Rumah yang memang kecil dan sederhana. Tak berarti apa-apa dalam hidupnya, jika ia hanya tinggal sendiri tanpa keluarganya. Semua tak berarti apa-apa. Ia berniat pulang untuk memberikan kejutan bagi keluarganya, ternyata, keluarganya sudah menyiapkan kejutan yang sejatinya keluarganya sendiri juga tidak tahu. Bahkan mereka sendiri juga terkejut, kenapa ia pergi dengan cepat sebelum bertemu dengan Rani.
Ilalang dan laba-laba mengingatkan Rani kepada keluarganya, perjuangan dan semangatnya. Ilalang yang tumbuh di tepi jalan setapak, telah menjadi saksi perjuangan ia dan adiknya dalam menuntut ilmu, saksi perjuangan kedua orangtuanya mencari uang, dengan membawa beban arang di kedua pundaknya, berjalan jauh menyusuri jalan itu. Kini, keluarganya telah tiada, ilalang hanya menjadi pengingat, dan membawa kesedihan yang dalam baginya. Kesedihan tatkala ia mengingat akan beratnya hidup yang ia jalani. Hingga keluarganya pergi meninggalkannya.
“Ternyata, rumah laba-laba itu masih ada. Tidak seperti rumahku yang ada di bawahnya, yang hilang entah kemana. Laba-laba itu pergi entah kemana, atau bahkan sudah mati dipatuk oleh burung. Rumah yang rapuh dan mudah runtuh.” Kata Rani saat ia pergi ke hutan. Sekarang, bekas rumahnya menjadi pemondokan bagi pengunjung yang ingin melihat air terjun. Entah siapa yang membangunnya di sana. Ia sama sekali tak menyangka jika ia sedang duduk di pemondokan itu. Bekas rumahnya dahulu. Tiba-tiba keramaian dan candanya bersama keluarga terdengar di telinganya. Air mata pun menetes, teringat akan masa-masa bahagia bersama keluarga.
“Ma, mbak Rani nggak nyuapi aku.” Dimas mengadu pada mamanya. “Rani, Dimas kenapa kamu biarkan. Malah enak-enak melamun.” Bentak majikannya. Rani pun menghapus air matanya, dan menyuapkan sesendok nasi dengan telor ke mulut Dimas. Perutnya sudah mulai lapar, majikan tidak menyediakan makanan untuknya, barang roti secuil pun. Mereka pikir, mereka bisa masak dan bawa bekal sendiri. Tapi, di kulkas tak ada makanan. kalau ia masak, besok pagi saat majikannya terburu-buru ke kantor dan tak memberi uang belanja, bisa-bisa ia disalahkan. Semua memang serba salah.
“Ran, saya mau lihat air terjun. Kamu disini saja jaga barang-barang. Hati-hati, jangan kemana-mana.” Perintah majikannnya. “Iya, bu” Jawab Rani dengan nada patuh dan muka sedikit takut dan hormat yang susah untuk dibedakan. Rani hanya terdiam di tempat duduk yang terbuat dari bambu. Perutnya mulai sakit karena lapar. Ia mengambil roti yang Yuli berikan padanya semalam. Dengan pelan ia mulai membuka bungkus plastiknya, dan mengunyahnya pelan. Tiba-tiba, gerak mulutnya mulai berhenti seiring dengan air mata yang keluar dari kedua matanya. “Emak, bapak, Rina, Rani kangen kalian semua.” Kata Rani merintih dan air matanya semakin deras mengucur.
“Ran, saya mau lihat air terjun. Kamu disini saja jaga barang-barang. Hati-hati, jangan kemana-mana.” Perintah majikannnya. “Iya, bu” Jawab Rani dengan nada patuh dan muka sedikit takut dan hormat yang susah untuk dibedakan. Rani hanya terdiam di tempat duduk yang terbuat dari bambu. Perutnya mulai sakit karena lapar. Ia mengambil roti yang Yuli berikan padanya semalam. Dengan pelan ia mulai membuka bungkus plastiknya, dan mengunyahnya pelan. Tiba-tiba, gerak mulutnya mulai berhenti seiring dengan air mata yang keluar dari kedua matanya. “Emak, bapak, Rina, Rani kangen kalian semua.” Kata Rani merintih dan air matanya semakin deras mengucur.
Andaikan ia memiliki foto keluarganya, rindu itu tak sedalam yang ia rasakan. Kehidupan miskin yang ia jalani, membuat ia tak berpikir untuk foto. Untuk makan saja susah. Kini, ia hanya bekerja dengan sabar demi melanjutkan kehidupannya ke depan agar lebih baik. Ia berharap rasa rindu itu selalu ada, sehingga ia akan ingat dengan masa-masa bersama keluarganya. Agar ia tak lupa dengan wajah-wajah mereka. Wajah orang-orang yang sangat ia sayangi dan kasihi.
Selesai
Cerpen Karangan: Choirul Imroatin
Facebook: Choirul Imroatin
Facebook: Choirul Imroatin
0 komentar:
Posting Komentar