}

Antara Adik dan Calon Istriku

Senin, 20 Januari 2014
Posted By : Wayne Rachmat

Antara Adik dan Calon Istriku


Aku sudah menjalin hubungan yang serius dengan Rio. Dia berjanji akan menikahiku jika aku sudah wisuda nanti. Dia sangat serius ingin menjadikanku istrinya. Aku pun bersyukur bisa mengenalnya dekat. Dia memang sosok yang selama ini aku idam-idamkan. Sosok yang kelak akan menjadi pendamping hidupku, ayah dari anak-anakku, dan akan menjadi imam dalam keluargaku. Aku sangat senang dengan dia, karena rasa tanggung jawabnya yang besar, mencintaiku dengan tulus dan penuh kasih sayang, selalu mengajakku dalam kebaikan. Aku akan sangat bersyukur jika memang Allah akan menyandingkan aku dengannya.
Tak ada yang istimewa dalam pertemuan kami. Rio selalu mengajakku bertemu di masjid kala itu bersama dengan adiknya. Aku hanya berbicara seputar pekerjaannya dan kuliahku, sembari menunggu adik Rio. Sikapku sedikit cuek ketika Rio mengajakku berbicara. “Kamu masih marah sama aku, Ma?” Tanya Rio. Tapi, aku hanya diam saja. “Kamu tega sama aku, Yo..” Kataku dengan nada kesal. “Iya.., aku minta maaf, Ma” Kata Rio memohon. “Aku ingin nanti setelah kita menikah, kamu pengertian sama aku, Yo. Tadi aku bilang, Yo.., aku tidak bisa mengambil motorku. Tapi, kamu malah menjawab, minta tolong saja sama tukang parkirnya.” Aku menjelaskannya dengan nada kesal.
“Iya, aku kan sudah minta maaf, Ma..” Kata Rio menegaskan. Aku hanya diam saja. Aku kesal dengan sikap Rio. Mungkin dia bilang begitu, karena dia juga kesal terhadapku, karena aku meninggalkan dia sendiri, dan berangkat dulu ke warnet. “Aku sebenarnya juga kesal sama kamu, Ma” Kata Rio mengutarakan kekesalannya terhadapku. Tapi, aku masih diam dan cuek terhadapnya. “Aku tadi masih sholat duha dulu. Tapi, kamu malah pergi dulu ke warnet. Aku tadi jalan kaki, Ma. Karena aku tadi datang sama Niken. Dan sepeda motornya dibawa Niken.” Terang Rio. Aku pun hanya terdiam dan merasa bersalah telah meninggalkan Rio. Dan aku tega membiarkan dia menyusulku ke warnet dengan jalan kaki. Jarak Masjid besar dengan Warnet lumayan jauh.
“Sekarang terserah kamu, Ma. Apakah kamu mau memaafkan aku atau tidak.” Kata Rio yang membuatku tidak enak dengannya. “Iya, aku maafkan, Yo. Maafkan aku juga, karena tadi aku buru-buru. Karena, ada tugas kuliah yang harus aku selesaikan.” Kataku menjelaskan. “Iya, aku maafkan.” Kata Rio. Dan beberapa saat kemudian, Niken datang. Niken memang cantik dan sangat tomboi. Aku hanya tersenyum melihatnya, dan ia pun membalasnya sembari melepas helm. Kemudian Niken menghampiriku dan Rio. “Mbak..” Sapanya padaku dengan malu-malu sambil tersenyum. “Dia mbak Ima, salaman…!” Rio menyuruh adiknya bersalaman padaku. “Ima..” Kataku memperkenalkan diri, dan menjabat tangan Niken.
Rio memang sengaja ingin memperkenalkan adiknya denganku, agar aku mengenalnya. Dan kebetulan, pada lebaran ini, adiknya pulang bekerja dari Surabaya. “Niken orangnya memang susah. Bandel kalau dibilangin.” Kata Rio menggoda adiknya. Niken pun terlihat malu denganku. Ia hanya tersenyum sambil menatap kakaknya. “Mas Yo apan, sih..” Kata Niken. “Lihat saja, Ma. Masa anak cewek pakai celana ketat kayak gini. Di rumah malah pakai celana pendek.” Kata Rio menceritakan kebiasaan Niken. “Coba lihat mbak Ima.” Rio menunjuk ke arahku. Aku memang memakai jilbab. Tetapi, aku juga masih banyak belajar tentang agama. Dan Rio selalu menjadi penyemangatku.
“Mas Yo saja yang cerewet, Mbak. Celanaku kan panjang, yang penting pakai celana.” Kata Niken menyanggah. “Tuh, kan… alasan saja.” Rio menggoda adiknya. “Apa yang dikatakan Mas Yo memang benar, Niken” Kataku padanya. “Kamu tadi sudah sholat belum?” Tanya Rio pada Niken. Niken hanya tertawa sambil membalas sms di hpnya. “Ken..” Rio memanggil Niken, sambil menggoyangkan kakinya. “Iya.. iya, Mas. Nanti saja di rumah, cerewet amat!” Kata Niken agak bandel. “Ini sudah jam berapa. Ayo, sholat dulu.” Perintah Rio.
“Memangnya ini jam berapa. Mbak, bawa mukena nggak?” Tanya Niken Padaku. “Di dalam ada Mukena, kok..” Jawabku. “Wudhunya dimana?” Tanya Niken. “Pasti alasan. Ada Ken, itu ada tulisannya ‘Putri’. Ayo buruan! Nanti pasti kalau di rumah juga tidak sholat.” Kata Rio yang tegas dengan adiknya, meskipun agak bandel. Tapi, dia memang perhatian dengan adiknya.
Akhirnya, Niken pergi ke tempat wudhu. Aku dan Rio menunggu di serambi masjid dengan berdiam dan tak mengeluarkan kata-kata sedikit pun. Kejadian salah paham itu, membuat suasana tidak enak. Aku juga tak enak untuk mengajaknya bicara. Dia pun juga diam. Mungkin tak enak denganku.
Tiba-tiba, diamku dan Rio dikagetkan oleh kedatangan Niken. Pikirku anak itu sudah mengambil air wudhu. Tidak tahunya masih kebingungan. “Mas, Yo. Wudhunya gimana?” Tanya Niken dengan senyum malunya. “Masak kamu nggak bisa wudhu, sih?” Rio sedikit jengkel dengan adiknya. “Lewatnya, itu kan ada airnya. Kata Niken. “Makanya sholat. Itu untuk mencuci kaki. Dilepas sandalnya, langsung dilewati.” Kata Rio menjelaskan. Yang dimaksud Niken adalah sebuah kolam sebelum memasuki tempat wudhu dan kamar mandi. Kubangan air itu fungsinya untuk membersihkan kaki sebelum wudhu.
“Basah semua, donk.” Kata Niken. Aku Pun tertawa geli melihat sikap Niken pada kakaknya. Dia memang agak bandel dan sedikit manja dengan kakaknya. Rio pun menatapku senang karena aku bisa tertawa. Setelah aku diam dan cuek terhadapnya. Akhirnya Niken kembali ke kamar mandi. “Adikku memang seperti itu.” Kata Rio yang masih tertawa. “Iya, tidak apa-apa. Niken memang lucu anaknya.” Jawabku. “ Meskipun Niken anaknya agak bandel tapi, dia selalu nurut sama orang tua.” Kata Rio. Aku pun terdiam, begitu juga dengan Rio.
“Aku ingin kamu menjadi contoh buat adikku dan juga orangtuaku, Ma” Kata Rio, berbicara serius denganku. Aku bisa melihat dari kedua matanya yang menyiratkan suatu permohonan. “Aku ingin adikku lebih rutin sholatnya. Aku ingin adikku banyak belajar tentang agama. Aku juga ingin adikku tidak memakai baju yang ketat. Dia memang masih terpengaruh dengan teman-temannya. Oleh karena itu, aku ingin istriku nanti menjadi contoh untuk adik-adikku. Aku ingin tunjukkan pada mereka apa yang aku inginkan dalam suatu keluarga” Kata Rio, yang membuat hatiku terenyuh.
“InsyaAllah, Yo.” Jawabku sembari tersenyum padanya. Dia memang banyak bercerita mengenai keluargaya. Ayah dan ibunya memang belum mendapatkan Hidayah dari Allah. Mereka tidak Solat dan juga tidak puasa. “Aku paling benci melihat kedua orangtuaku makan di depanku. Sedangkan aku dalam keadaan puasa” Kata Rio padaku pada pertemuanku sebelumnya. Dia memang keras jika memang dia benar. Dia juga bercerita banyak tentang keinginannya berumah tangga denganku. Dia tidak ingin anak dan istrinya seperti keluarganya sekarang. “Aku serius denganmu, Ma. Aku ingin kamu menjadi Istriku kelak dan akan menjadi contoh untuk adik-adikku dan juga kedua orangtuaku.” Kata Rio padaku. “InsyaAllah aku siap. Yo.” Jawabku padanya. Dia pun tersenyum padaku.
Aku memang sangat mencintai Rio. Dan aku juga tahu dia sangat mencintaiku dan menyayangiku. Tetapi, sikapku terhadapnya sangat berlebihan dan sering membuatnya kesal terhadapku. Aku tahu itu. Tapi, aku juga tidak tahu kenapa aku bersikap seperti itu. Aku salah mengekspresikan rasa sayangku terhadapnya. Dan aku tahu itu sebenarnya. Tetapi, aku seringkali tidak bisa mengendalikan sikapku. Sikapku yang mudah marah dan ngambek pada Rio. Sebenarnya hanya satu, aku ingin diperhatikan. Tapi, caraku saja yang salah. Dan aku tahu itu. Tapi sekali lagi, aku juga tidak tahu kenapa aku masih saja bersikap seperti itu, sedangkan aku tahu bahwa sikapku itu salah.
Rio begitu sabar menghadapi sikapku yang mudah marah dan ngambek. Terkadang, aku menanggapi serius candaan Rio hingga akhirnya kita terlibat debat. Tapi jujur, aku selalu menangis jika aku dan Rio sedang berdebat. Aku bingung kenapa sikapku seperti itu. Aku juga tahu, semua itu salahku. Aku yang selalu memancing amarahnya.
Aku juga sering berprasangka buruk terhadapnya. Padahal Rio tidak mungkin berbuat seperti apa yang aku pikirkan. Aku tahu itu. Tetapi, hatiku selalu diliputi rasa khawatir dan cemas terhadapnya. Aku begitu sering memikirkannya. Dan sekarang, aku justru cemburu dengan Rio dan adik kandungnya sendiri. Aku iri melihat kedekatannya dengan Niken. Apalagi, Niken anaknya manja. Seperti yang aku lihat saat Rio menyuruh Niken untuk sholat di masjid besar itu. Niken terlihat menggoda kesabaran Rio. Niken terlihat manja. Dan aku Iri melihatnya. Hatiku seakan ingin Rio hanya untukku.
“Kamu kenapa cemburu dengan Niken?” Tanya Rio dalam smsnya. “Aku juga tidak tahu, Yo. Aku iri saja melihat Niken dengan sikapnya yang manja sama kamu.” Jawabku. “Ima, Niken itu adikku sendiri. Jadi tidak seharusnya kamu cemburu dengannya.” Kata Rio. Aku sangat bingung sekali. Kenapa sikapku seperti itu terhadap Niken dan Juga Rio. Aku juga tahu Niken itu adiknya, adik kandung Rio. Tapi aku tidak tahu dengan perasaan ini. “Niken itu adik kandungku, Ma. Kamu tidak usah cemburu.” Rio menegaskannya padaku.
“Aku tidak tahu, Yo. Aku tahu Niken itu adik kamu. Mungkin ini perasan dan pikiranku saja.” Jawabku yang mencoba menenangkan hatiku sendiri. Akhir-akhir ini aku juga sering berprasangka buruk terhadapnya. Aku sering menunggu smsnya dan saat ia tidak membalasnya, aku pasti berprasangka buruk padanya. Padahal terkadang ia tidur karena kelelahan usai pulang kerja. Ia juga masih harus mencari makan di luar, karena dia kos dan tidak memasak sendiri. Dan aku tahu itu. Tapi aku tidak tahu kenapa pikiran dan perasaanku terhadapnya seperti itu.
Perasaan itu justru membuatku tidak tenang dan merasa khawatir terus memikirkannya. Aku tahu sikapku terhadapnya akan membuatnya semakin jenuh menghadapiku. Aku tahu kalau aku kurang pengertian terhadapnya. Aku tahu itu semua. Tetapi, lagi-lagi aku tidak bisa mengendalikan perasaan dan pikiranku terhadapnya. Sehingga, prasangka buruk sering membuatku menangis sendiri. Aku tahu, aku tidak sepantansya bersikap seperti itu, sikapku itu hanya akan membuatnya jenuh dan kehilangan kesabaran menghadapiku. Dan yang tidak aku inginkan, aku akan membawa sikapku itu hingga pernikahan nanti. Aku tak mau keluargaku sering kisruh lantaran sikapku itu.
Aku tidak ada maksud ingin merebut dan menguasai Rio jika ia sudah menjadi suamiku. Tetapi, rasa memiliki seutuhnya justru akan membuatnya sakit hati. Aku tahu Niken adalah adik kandungnya sendiri. Tapi, aku tak bisa mengontrol perasaan dan apa yang selalu ada dalam pikiranku. Padahal, Rio juga sering mengatakan dan menegaskannya padaku. “Ima, Niken itu adalah adikku. Dan setelah menikah nanti aku akan menjadi milikmu. Niken pasti juga tidak akan manja lagi terhadapku, karena dia sudah dewasa dan akan menjalani hidupnya sendiri, dan dia juga akan berkeluarga.” Jelas Rio panjang lebar.
“Aku tahu, Yo. Maafkan sikapku selama ini. Kamu sudah terlalu sabar mengahadapi sikapku itu. Aku selalu berpikiran yang tidak-tidak. Dan itu justru yang membuat aku bingung dan selalu memikirkan sesuatu yang tidak jelas dan tidak aku ketahui kepastiannya. Dan aku juga tidak bermaksud untuk memilikimu seutuhnya. Aku juga tidak ingin memisahkan kamu dengan orang tuamu dan juga adikmu jika kita sudah menikah nanti. Mungkin, ini hanya rasa sayang yang terlalu berlebihan.” Kataku menjelaskan. “Iya, aku mengerti perasaanmu, Ma” Kata Rio menenangkanku.
“Sekarang, kamu tak usah lagi cemburu dengan Niken. Dia adik kandungku sendiri. Aku serius denganmu, Ma. Aku ingin menjadikan keluarga kecil kita nanti contoh bagi keluargaku. Aku ingin adikku berubah. Mungkin sekarang hatinya belum diberi hidayah, begitu juga dengan kedua orangtuaku.” Kata Rio, mengutarakan niatnya dengan tulus. Aku melihat dari pancaran kedua matanya. “Aku juga ingin seperti itu, Yo. Aku ingin membina keluarga yang sakinah mawadah warahmah. Aku ingin kehidupan yang bahagia, sejahtera dan penuh dengan ketentraman, cinta dan kasih sayang.” Kataku pada Rio. Rio menganggukkan kepalanya sembari tersenyum padaku.
Aku sudah berkomitmen dengannya. Kami ingin membina keluarga bersama. Dan aku akan menyelesaikan kuliahku, dan kelak aku akan mengajar di sekolahan. Semoga Allah memberikan kemudahan. Rio memang tidak kuliah. Setelah tamat sekolahnya di tingkat menengah atas, dia langsung bekerja di suatu kantor. Aku tidak pernah memandang status pendidikannya. Bagiku, sikap dan pribadi yang bertanggung jawablah yang jauh lebih penting. Dan insya Allah kelak dia akan memimpin keluarga kecilku dengan baik.
Setelah menikah nanti, dia akan berencana membuka sebuah usaha. Dia ingin waktunya lebih banyak untuk anak dan juga istrinya. Dia juga sudah berpesan denganku agar mengajar saja dari pada bekerja di kantor. Ia ingin aku lebih banyak mengurusnya dan juga anak kita nanti. Cita-citanya dan juga cita-citaku, semoga menjadi kenyataan. Dan semoga Allah memuadahkan apa yang kami berdua inginkan.
Kini, aku lebih bersikap dewasa. Aku tak ingin diriku terbelanggu oleh pikiran-pikiran yang buruk tentang Rio. Tidak seharusnya juga aku cemburu dengan Niken yang jelas-jelas adiknya sendiri. Aku memang terkadang iri dengan Niken yang bercanda dan menggoda Rio. Mereka saling colek dan tertawa bersama. Sedangkan Rio tak pernah melakukannya terhadaku. Karena itu semua memang aku dan Rio belum resmi menjadi suami istri, tentu jika aku sudah menikah nanti, dia akan menjadi milikku seutuhnya. Aku pun selalu menenangkan pikiranku sendiri agar aku tidak merasa khawair tak jelas seperti itu.
“Tenang saja, jika kita sudah menikah nanti. Aku hanya milikmu, Ma. Tak ada yang memilikiku selain dirimu. Jadi, tak usah kau hiraukan sikap Niken terhadapku. Dia memang suka seperti itu. Semua ini karena aku sangat mengargai kamu. Aku ingin menjagamu hingga kamu menjadi istriku nanti.” Kata Rio. Aku pun menganggukkan kepala sembari tersenyum. Sekarang, hatiku menjadi tenang.
Selesai
Cerpen Karangan: Choirul Imroatin
Facebook: Choirul Imroatin

0 komentar:

Posting Komentar

 
 
 
free counters

Follower

Gunadarma