}

Bolehkah Aku Membenci Ayah?

Senin, 20 Januari 2014
Posted By : Wayne Rachmat

Bolehkah Aku Membenci Ayah?

Orangtua merupakan tumpuan bagi setiap anak, memiliki orangtua yang lengkap adalah keinginan setiap anak di muka bumi ini, tak terkecuali dengan ku. Namun, takdir berkata lain bagiku. Lah Peristiwa 16 tahun yang silam telah merubah kehidupan menjadi sosok anak yang tumbuh tanpa peranan seorang Ayah. Memang semua terbayang sangatlah berat namun kini telah ku lalui semua hingga aku tumbuh menjadi seorang remaja yang kuat dan tegar dalam menghadapi persoalan hidup. Tanpa kehadiran sosok ayah yang mendampingi ku tentu ada sosok lain yang menggantikannya tidak lain dan tidak bukan adalah ibu. Ibu bagi ku adalah sosok luar biasa yang memiliki peran ganda oleh keadaan, ia menjadi sosok ibu yang penuh kasih sayang dalam merawat anaknya hingga menjadi sosok perkasa mencari nafkah untuk membiayai kehidupan kedua anaknya.
Mengingat kembali memori 16 tahun yang lalu saat kisah getir itu terjadi pada diriku dan keluargaku sudah tentu berdampak pada psikologis ku. Sering terlintas di bayang ku saat pertengkaran itu, hal ini sering membuat ku seperti orang bodoh yang kehilangan akal sehat namun berkat orang-orang yang berada di samping ku membuat ku tegar dan kuat. Memang aku tak pernah kekurangan kasih sayang karena ibu telah memberikan sayang yang lebih kepada ku namun tak bisa dipungkiri kehadiran sosok ayah sangat ku rindukan.
Pernah suatu ketika disaat aku masih berada di bangku SD aku mengalami pergejolakan yang begitu dahsyat, aku tidak tahu apa dan siapa itu sosok ayah sehingga membuat aku bertanya dan terus bertanya. Hal ini berawal ketika masih kelas 1 SD yang setiap harinya sering bernyanyi bersama saat hendak pulang sekolah dan disaat itu yang dinyanyikan adalah lagu yang sangat identik dengan anak-anak, karena sangat senang aku pun ikut bernyanyi bersama-sama.
“satu-satu aku sayang ibu, dua-dua aku sayang ayah, tiga-tiga sayang adik kakak, satu dua tiga sayang semuanya”
Nah, yang mengganjal di benak ku siapakah sosok ayah yang ada pada lirik lagu ini.
Sesampainya di rumah sambil mengerjakan PR yang didampingi ibu aku bertanya padanya.
“bu, teman ku roni setiap hari diantar jemput ayahnya sekolah, aku kok enggak bu?, ayah ku mana bu? Kok aku gak pernah jumpa ayah” Tanya ku polos.
“ayah kamu lagi kerja nak” jawab ibu sambil meneteskan air matanya.
“kok gak pulang-pulang sih bu? Terus ibu kok menangis” Tanya ku kembali
“ayah kamu lama pulang sayang, mungkin dia lagi sibuk. Kamu jangan Tanya-tanya ayah lagi” jawab ibu.
“ia bu, tapi ibu jangan nangis lagi ya” ujar ku. Ibu hanya tersenyum menjawab perkataan ku sembari menghapus air matanya.
Sejak saat itu tidak pernah menanyakan ayah lagi kepada ibu karena aku takut ibu menangis lagi. Namun semua pertanyaan ku terjawab sudah setelah aku beranikan diri bertanya kepada pamanku dimana ayah, sejak saat itu aku tahu semua tentang ayah dan aku sangat kecewa kepada ayah, hingga peristiwa itu terjadi, saat aku kelas 3 SD nenek ku meninggal dunia dan disitulah untuk yang pertama kalinya aku bertemu dengan sosok yang sering disebut ayah tersebut, namun tidak tahu kenapa aku tidak memiliki rasa apapun kepada ayah yang ada malah rasa marah ku kepada ayah yang telah menelantarkan kami.
Kebencian ku kepada ayah makin menjadi disaat ibu harus menjadi TKW di Negeri tetangga, semua dilakukan ibu semata-mata untuk menghidupi kami anak-anaknya, disini aku mulai mengerti betapa perjuangan seorang ibu yang sangat luar biasa, namun dimana sosok yang harusnya bertanggung jawab akan nafkah keluarga tersebut? semua hanya omong kosong belaka. Kepergian ibu menjadi TKW mengharuskan kami tinggal bersama tante dan nenek, mereka sangat menyayangi kami karena semenjak perceraian ayah dan ibu mereka turut serta merawat ku dan adikku, walaupun kasih sayang yang diberikan tante dan nenek sangat besar dan tidak membuat kami kekurangan kasih sayang namun tentu saja aku sangat sedih harus berpisah dengan ibu terlebih adikku yang masih kecil dan masih sangat membutuhkan perhatian lebih dari ibu namun kini ia harus berpisah dari ibu, hal ini tentu saja membuat kebencianku terhadap ayah tumbuh dengan subur.
Rasa kebencianku terhadap ayah pun semakin terpupuk disaat aku menginjak bangku SMA karena disini aku merasa begitu besar perjuangan seorang ibu untuk menyekolahkan anaknya setinggi mungkin, walau keadaan ekonomi sangatlah memprihatinkan. Biaya sekolah yang mahal ditambah dengan harga buku pegangan yang selangit membuatku hampir putus asa untuk melanjutkan sekolah. Namun semangat dan kemauan membuat ku bertahan melihat besarnya perjuangan ibu, betapa kecewanya ia jika aku putus sekolah. Lagi-dan lagi hal ini membuat ku makin membenci ayah di balik perjuangan ibu yang begitu besar kemana sosok ayah tersebut? Namun, keadaan ini memotivasi diriku agar aku belajar segiat mungkin untuk membahagiakan ibu dan membuat perjuangannya selama ini tidak sia-sia.
Kini aku telah beranjak dewasa dan tetesan keringat ibu ku telah terjawab semua, berkat perjuangannya yang selalu menjadi motivasi bagiku telah membawa ku meraih beasiswa untuk duduk di bangku perguruan tinggi negeri ternama di kota Medan ini. Semua ini kupersembahkan sebagai ucapan terimakasih ku kepada ibu yang telah membesarkan ku dan telah memberikan yang terbaik kepada ku. Dan aku berjanji kelak jika aku telah selesai dari pendidikan ku, aku akan bekerja dan membahagikan ibu ku yang telah berjuang untuk ku. Masalah ayahku kini meninggalkan pertanyan besar di benakku “boleh kah aku membenci ayah?”. Namun semua itu hanyalah penggalan masa lalu yang harus ku simpan baik-baik.
Cerpen Karangan: Abdul Rahman Sinaga

0 komentar:

Posting Komentar

 
 
 
free counters

Follower

Gunadarma