Kamis, 20 Juni 2013
Posted by : Wayne Rachmat
Gadis Kecil Kakek
…
Coklat panas yang aku buat di pagi ini memang masih sangat panas. Uapnya sampai mengepul hingga aku kesusahan untuk meminumnya. Untuk menunggu coklatku dingin aku mulai menyalakan TV. Terlihat berita tsunami di Yogyakarta beberapa hari kemarin. Ada yang terluka, kehilangan keluarga, bahkan ada yang meninggal. Hatiku sungguh sedih melihat berita tersebut. Isak tangis mereka menyentak hatiku. Bahkan aku teringat oleh almarhum mamaku yang sangat aku cintai. hingga kini aku hanya tinggal berdua dengan ayahku. “Keishaaa, mau sampe kapan nonton TVnya? Nanti telat ke sekolah loh.” Kata Ayahku yang selalu takut aku akan telat ke sekolah. “Iya yah, aku masih minum coklat panasku nih.” Jawabku pelan. “Oiya, kei. Nanti kamu jangan pulang telat ya. Pulang sekolah langsung pulang terus packing buat pindahan besok.” Kata ayah. Aku baru ingat kalau nanti malam aku dan ayahku akan pindah ke Yogyakarta. Mungkin akibat pekerjaan ayahku yang mewajibkan kita selalu berpindah tempat tinggal setiap tahunnya. Rasanya lelah harus mencoba beradaptasi dengan lingkungan baru di setiap tahunnya. Namun, aku tahu ayahku bekerja hingga pindah-pindah kota demi aku.
Jakarta menyimpan banyak kenangan untukku. Banyak teman-temanku yang belum bisa rela akan kepergianku. Awalnya aku tidak mau pindah ke Jogja. Buat apa aku pergi ke kota yang baru saja tertimpa bencana tsunami? Rasa paranoid menghantuiku. Tapi, setiap aku bertanya kepada ayah, ayah selalu berkata “Loh? Bukannya seharusnya kamu seneng bisa sekalian nengokin para pengungsi? Pasti mereka juga seneng kalo ada orang baru disana. Jadi orang itu harus baik-baik sama orang lain, siapa tau nanti kamu di balas yang baik juga. Iya toh?” Ayah menasehatiku pelan dengan suara medok khas Surabaya. Mungkin ayah benar.
Suara kereta mengagetkan aku yang sedang bengong memikirkan Jakarta dan Yogyakarta. Kota-kota besar yang sangat berbeda kebudayaannya.
Aku baru 10 menit merenggangkan tubuh di bangku kereta. Ketika aku mengusap bibirku, baru ku sadari ada darah di telunjukku. Apa ini? “Ayah, lihat, aku mimisan. Aku kenapa?” tanyaku pada ayah sambil ketakutan. Aku benci darah. Baunya amis dan warnanya terlalu pekat. Ayah hanya menenangkanku dan mengusap kepalaku.
Kini aku sudah di Yogyakarta. Kota yang besar, ramah, terkenal dengan kekentalan bahasa jawanya namun alam menyita banyak kenangan disini. Aku bersekolah di sekolah lumayan elite dengan teman-teman yang seru.
Seminggu kemudian,
“Kei, mau ikut kami gak bakti sosial ke pengungsian tsunami di Bantul?” kata salah seorang temanku bernama Dela. “Iya Kei, yuk ikut kesana sekalian nanti kamu kami ajak jalan-jalan!” kata Yudi. Akupun mengiyakan ajakan mereka.
Sesampainya di daerah pengungsian. Hatiku menangis melihat keaadaan mereka. Mereka sangat senang dan antusias melihat kedatangan kami. Mereka langsung berkumpul dan banyak bercerita pada kami. Namun, kulihat seorang kakek tua duduk menyendiri di ujung tenda. Selama teman-temanku mendengarkan cerita orang-orang, aku mendatangi si kakek yang sedang bersedih itu. “Kakek, kok sendirian disini? Ayo yuk berkumpul sama yang lainnya.” “aku ndak mau.” kakek yang sedang menangis itu menjawab ketus sekali. Aku khawatir keadaannya.
Kini di saat orang-orang sedang makan, kakek tetap menangis di ujung tenda. Aku mendatanginya lagi dan memaksanya untuk makan. Kakek tetap diam. Aku tak pantang menyerah, aku masih menanyainya. Dan dia mulai membuka mulutnya “cucuku meninggal terbawa ombak besar itu.” Aku langsung tersentak. “Namanya Alysha. Dia satu-satunya orang yang aku miliki selama 6 tahun ini. Namun kini, dia sudah pergi.” Kakek semakin menangis. Aku mengerti rasanya kehilangan orang yang aku cintai, yaitu mamaku saat aku berumur 5 tahun. Aku pun menenangkan kakek dan memeluk si kakek yang malang itu. “Kakek, aku yakin Alysha bahagia di surga sana. Namun kebahagiannya akan hilang kalo kakek terus nangis begini.” Kakek terdiam pilu mendengarku. Namu akhirnya dia mengusap tetes terakhir air dari ujung matanya itu dan berkata padaku, “Terima kasih nak.” Sambil tersenyum. Walau ku tahu sesungguhnya kakek masih sedih.
Lusanya, aku datang lagi ke pengungsian bersama Dela dan Yudi. Aku menyapa kakek yang sudah tak lagi bersedih akan kepergian cucu satu-satunya itu. Lalu kakek bercerita tentang cucunya yang bernama Alysha itu. Dia gadis kecil yang lucu berumur 7 tahun dan mempunyai poni rata ke depan seperti aku. Sungguh menyenangkan bisa mendengarkan cerita kakek. Namun, tiba-tiba kakek terjatuh tergeletak lemas sambil memegang perut bagian kiri atas. Ia merintih kesakitan. Maag kronisnya memaksanya untuk pergi ke rumah sakit. Kakek yang tak pernah makan, tentu akan sakit.
Selama kakek ada di rumah sakit, aku selalu datang menjenguknya sehabis pulang sekolah. Kakek yang hanya ditemani teman terdekatnya di pengungsian sangat senang saat aku datang. Setiap hari aku selalu datang dengan keceriaan dan banyak cerita yang kudapatkan di sekolah aku ceritakan kembali ke kakek. Kakek juga seorang pendengar yang baik. Aku dan kakek merasa semakin dekat. Dan kini dia benar-benar melupakan kesedihannya itu karena kini ada aku yang akan selalu disisinya. Kakek telah menganggap aku sebagai cucunya sendiri. Rasa sayang yang ia berikan kepadaku mirip seperti seorang kakek dan cucu yang bahagia. Namun, suatu saat sesuatu terjadi. Sudah 10 hari aku tak pernah datang lagi menjenguk kakek. Kakek yang merasa kesepian dan punya darah tinggi kecewa padaku. Hingga suatu saat aku datang, kakek menyambutku dengan marah-marah. “Kamu kemana saja sih ndok? Kakek merasa kesepian. Kamu kan sudah janji ke kakek akan terus kesini. Sudah sepuluh hari kamu tak datang!” aku tak menyangka kakek semarah itu. “Tapi kek, aku…” “Sebaiknya kamu pulang sekarang.” Kakek mengusirku pelan namun sangat menyakitkan untukku.
Keadaanku semakin memburuk aku makin sering pingsan dan merasa sesak. Kata dokter aku terserang penyakit kanker paru-paru stadium 4. Aku sangat sedih dengan penyakitku ini. Karena aku harus segera di operasi namun sampai sekarang tak ada donor yang cocok untukku. Aku sudah tahu hal ini sejak lama. Namun kakek, belum tahu. Sepuluh hari yang aku lewati tanpa kakek, itulah saat-saat dimana aku harus mengobati penyakitku sendiri. Namun tiba-tiba, aku dadaku terasa sesak sekali. Aku merasa sesuatu tidak beres dalam paru-paruku. Aku pun terjatuh pingsan saat itu juga. Dan bangun-bangun aku berada di ruangan rumah sakit bersama ayah, dokter, dela, yudi. Setelah dokter mengecek tensi dan denyut jantungku, mereka berempat keluar ruangan. Namun ada seseorang yang masuk. Kakek. Aku kaget. “Kakek? Darimana kakek tahu aku ada disini? “ “Kakek sudah tahu semuanya Keisha. Sekarang kamu istirahat dan kamu akan operasi besok.” “sudah ada donor yang cocok untukku kek? Siapa?” tanyaku tersenyum lebar. “Kakeklah yang akan menjadi pendonor untukmu” Air mata ku mengumpul di ujung mata. Aku tak mau kakek mati karena aku. Aku sekuat-kuatnya memohon namun kakek berkata, “Kakek sudah tua, tapi kamu masih muda dan harus terus melanjutkan hidup.” Kakek sambil menangis memelukku dengan airmatanya. Lalu ia keluar dari ruangan.
Besoknya, operasi ku di mulai pagi ini. Aku sangat takut dan tak ingin kakek pergi. Aku telah menggunakan baju operasiku dan tidur di kasur operasi. Ku lihat ayah, dela, dan yudi yang menangis untuk kesembuhanku. Dan ku lihat kesamping, ada kakek yng juga sudah siap untuk operasi. Aku menggelengkan kepalaku ke kakek sambil menangis menandakan jangan lakukan ini. Namun kakek tetap bersikeras. Obat bius telah menembus kulitku dan operasi pun di mulai.
…
Menelusuri hidup baru yang kaya akan warna jingga terang yang menyelimuti warna kelabunya langit atas kehilangan orang yang dicintai. Namun dengan warna baru, semuanya pun berubah. Jingga menyembuhkan aku dari rasa kepedihan. jingga memberikan kebahagiaan yang baru yaitu adik perempuan baruku yang kini selalu bermain bersamuku sedari pagi sampai tak terlihat seperti pagi lagi.
Aku berada di tempat yang indah namun sunyi. Hanya terdengar aliran sungai yang menggericik telingaku. Kulihat kejauhan. Ada seorang anak kecil cantik. Ia berpelukan dengan kakek. Tempat apakah ini?
Operasiku gagal. Aku dan kakek tidak selamat dari operasi ini. Ayahku menangis penuh kesedihan. dela dan Yudi juga. Aku sangat sedih harus meninggalkan mereka semua. Dan kini aku berada di tempat yang sangat indah dan tentram bersama kakek dan adik kecil baruku yang bernama Alysha.
Cerpen Karangan: Windadia Sabrina
Blog: ketukpintu.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar